Red Bobblehead Bunny

1/20/12

Merah Tiba

Neraca lurus berporos indah
Hari ini hari esok
Satu kursi tiga orang
Cukup

Beriringan kaki bendara
Panji itu cukup kuat
Menampung otak seribu
Hampir-hampir sejuta

Kobaran api, angin kencang menerpa,
Panji itu tetap kuat
Mengangkat otak seribu
Hampir-hampir sejuta

Pundi emas berlilit perak
Temani mentari dan bulan
Habis waktu demi sembah abadi

Neraca, hari ini kehilangan kendali
Berat sebelah
Bergoyang-goyang kian kemari
Melawan otak seribu
Hampir-hampir sejuta

Serdadu merah kobarkan benci
Bibir perang dengan dahsyatnya
Pecah belah neraca kini
Menahan otak seribu
Hampir-hampir sejuta

Yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin


           Pernahkah anda melihat segelintir orang kurang beruntung ditayangkan di televisi ? Atau pernahkah anda mendengar orang berkoar-koar meminta sumbangan untuk orang-orang miskin ? Atau, pernahkah anda menjadi donatur untuk sebuah kegiatan bakti sosial ? Jawabannya, pernah, atau mungkin sering. Ya, benar, kemiskinanlah yang menjadi masalah besar bagi negara ini. Ternyata saat ini masalah kemiskinan belum bisa kita selesaikan. Dalam keseharian kita, mungkin bagi mereka yang tergolong mampu dalam urusan materi takkan merasakan kesulitan. Semua lancar karena memang urusan mereka tercover dengan baik. Bukan hanya itu, terkadang mereka terlalu banyak menghambur-hamburkan harta mereka dengan sia-sia percuma. Ini fenomena yang sangat biasa. Sama biasanya seperti membuang seonggok sampah.
Mari kita merenung sejenak seberapa efektif dan efisienkah harta yang kita miliki terpakai selama ini? Seratus persenkah ? Sembilan puluh persenkah ?. Tapi, bagi mereka yang kurang mampu, pertanyaan yang mungkin sesuai adalah, seberapa besar harta yang belum terpenuhi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?. Mungkin di berbagai media saat ini kita kan mendengar betapa majunya perekonomian negara kita saat ini. Tahun 2011 ini, perekonomian Indonesia naik hingga 6%. Angka yang cukup besar. Tapi, ini hanya sebatas angka. Angka 6% tak berpengaruh besar terhadap masalah kemiskinan. Hingga saat ini, masih sangat besar angka yang menunjukkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Selama ini, nampaknya kita masih terjajah oleh kemiskinan.
Di banyak tayangan di stasiun televisi, kita seakan terus menjumpai orang-orang yang tak mendapatkan pekerjaan yang layak. Di antara mereka mungkin ada yang bekerja mati-matian di bawah terik matahari di tempat pembuangan sampah akhir, hanya untuk mencari cacing. Itu hanya salah satu dari berbagai macam pekerjaan yang tak layak di Indonesia. Pantas sajalah kualitas hidup mereka terbatas hanya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di sisi yang berbeda, di sana banyak orang berpenghasilan besar dan mapan tak henti-hentinya memeras keluguan orang-orang kecil. Mereka memanfaatkan keadaan, benar-benar kejam. Tampaknya, menduduki kursi di dalam pemerintahan dan suksesnya di bidang wirausaha belum memenuhi hasratnya mengumpulkan uang. Dan lagi-lagi, uang orang-orang kecil jadi sasaran. Bukan hanya orang besar,  pegawai pajak pun bisa melakukan hal yang sama. Dalam rekening banknya, tersimpan pundi-pundi uang yang bernilai milyaran rupiah, hanya seorang pegawai pajak.
Rupanya, masalah kemiskinan telah mengancam kehidupan kita di negara ini. Bukan hanya miskin dalam konteks materi, tapi juga telah menyangkut kemiskinan moral bangsa ini. Dan ternyata saat ini masalah yang kita hadapi adalah, yang kaya akan semakin kaya harta dan yang miskin akan tetap miskin, yang kaya semakin miskin moral, yang miskin sama saja.

Negara kita tak(belum) sesuai harapan


Enam puluhan tahun yang lalu, negara ini benar-benar mendapatkan keajaiban yang besar, keajaiban yang tak datang begitu saja, tapi karena keringat dan darah para pendahulu kita, para pahlawan negara. Tak bisa dipungkiri, jika kita melihat ribuan buku sejarah yang ada di sekitar kita(museum, perpustakaan , hingga e-book), di sana termaktub jasa-jasa, pengorbanan, serta semangat yang suci mereka. Bahkan, mungkin kita takkan menemukan satu orang pun pahlawan yang berperang karena demi dirinya atau keluarganya, tapi demi negara. Hari jumat, 17 agustus 1945 pun menjadi latar awal berdirinya sebuah Negara yang merdeka, terlepas dari segala bentuk penjajahan bangsa lain.
Mereka, para pahlawan bukan diam dan berpangku tangan dalam membela negara. Tentu dengan keberanian yang dibuktikan dengan berperang, tanpa rasa takut. Dalam benak mereka, yakinlah,mereka tak pernah mau Negara yang telah mereka pertahankan dan perjuangkan hancur hanya karena masalah perubahan zaman, intrik politik, atau generasi muda yang amburadul. Pertanyaannya, maukah kau menyakiti hati mereka? Siapa pun mereka yang –benar-benar-memiliki hati takkan mau mengucapkan kata ‘ya’ atau’Tentu’. Lantas, apa yang kan kau lakukan ? Untuk pertanyaan ini, mari kita jawab dengan mantap, ‘Apa saja asal tak bertentangan dengan kebaikan’. Cukup.
Tapi sekarang, kita bisa melihat realita. Ucapan-ucapan yang barusaja keluar dari mulut kita tak mudah dilakukan. Tanpa sadar kita telah menyakiti hati mereka. Negara ini seakan bukan negara yang istimewa, bukan negara yang dahulu memunculkan pahlawan-pahlawan besar yang menjanjikan kemerdekaan. Sekarang semuanya melihat, di balik kemerdekaan yang bersinar, negara ini –ternyata-semakin hancur sedikit demi sedikit, sejengkal demi sejengkal, dan tak kan ada yang tahu tiga puluh tahun yang akan datang. Jika kita rajin membaca koran, menonton berita di televisi atau hidup di lingkungan pemerintahan negara, sedikit banyak kita akan tahu borok-borok yang menggerogoti negara kita.
Dalam pemerintahan, unsur pemimpin yang adil dan jujur seakan sesuatu yang tabu. Banyak oknum-oknum berseragam parlente yang tega-teganya menjilat harta mereka yang membutuhkan. Bukan sesuatu yang aneh, justru menjadi sebuah pekerjaan sambilan, sebut saja mereka koruptor. Entah apa yang terjadi, tapi KKN adalah tradisi orang-orang Belanda yang dahulu menjajah Indonesia. Perilaku busuk ini kini mulai menjadi kesibukan bagi badan yang disebut KPK.
Saat beranjak keluar dari rumah, mencoba menghirup udara terbuka, kita mungkin takkan terkejut melihat beberapa anak kecil berlarian di jalanan, terminal, stasiun, perempatan, sampai kolong jembatan yang -ironisnya- tak berpakaian layak. Ini hanya sekedar penampilan luar. Saat kita melihat lebih detil lagi, ternyata mereka membawa alat-alat musik buatan sendiri. Betul, mereka mengamen. Atau yang lebih parah lagi, mencuri. Semua ini terlihat sangat biasa. Mengapa? Fenomena in terjadi di hampir semua tempat di Indonesia dan terjadi setiap saat.  Bukan apa-apa, ini masalah pendidikan. Mereka bukan anak-anak yang dilahirkan sebagai pengamen, pengemis, atau pencuri. Pendidikanlah yang memaksa mereka berpola pikir seperti mereka. Lalu, siapa yang disalahkan? Orang tua? Tak seratus persen kesalahan ini milik orang tua. Biaya sekolah yang tinggi serta pekerjaan orangtua mereka yang kurang layak menjadi pemicu masalah ini. Biaya pendidikan jauh lebih tinggi dibandingkan biaya untuk hidup sehari-hari.
Atau saat kita melihat lingkungan yang lebih indah, sekolah, kita akan sedikit tercengang akan perilaku mereka yang telah mengenyam pendidikan, yang tentu jauh lebih baik daripada anak-anak jalanan tadi. Tradisi-tradisi anarkis seperti tawuran dan keroyokan acap kali kita temukan di lingkungan ini. Memang benar, anak muda sedang bergelut dengan masa-masa pendewasaan. Emosi mereka terbilang labil dan susah dikendalikan. Ini dipengaruhi faktor kejiwaan mereka secara normal. Tapi, faktor lain juga berperan aktif dalam masalah ini. Lingkungan yang kondusif takkan memicu hal-hal semacam ini timbul di kalangan anak sekolah. Yang lain lagi, ketika orangtua khawatir karena sistem pendidikan yang kurang bermoral yang membiarkan anak-anaknya mencontek saat mengikuti ulangan. Bahkan, banyak sekolah yang-lagi-lagi ironisnya- mengajarkan tradisi busuk ini. Suatu ketika ada orang tua yang mengajukan protes terhadap sekolah anaknya yang membolehkan siswanya mencontek saat mengikuti ujian nasional. Lantas apa yang terjadi? Anaknya dikeluarkan dari sekolah dan orangtuanya dianggap telah mencoreng nama baik sekolah. Inilah wajah pendidikan di Indonesia.
Entah percaya atau tidak, lagi-lagi kalangan anak muda membuat gerah orangtua. Anak muda kini amat rentan dengan masalah obat-obatan terlarang serta miras. Banyak faktor yang memengaruhi timbulnya masalah ini, bisa karena stress, pergaulan bebas, atau karena kurangnya kasih sayang yang diberikan orangtua. Mungkin hal buruk ini akan bisa diminimalisasi dengan berbagai tindakan preventif dan represif, tapi mungkin akan sulit jika tanpa kesadaran dari berbagai pihak terkait.
Di lain hal, sungai-sungai yang ada di Indonesia kini bukan hanya dialiri oleh air, limbah, atau sampah-sampah lainnya, tetapi juga darah segar milik bayi-bayi yang dibuang. Bangkai-bangkai bayi kini banyak mengambang dan nyaris ditemukan di berbagai sungai di Indonesia. Ya, bangkai bayi. Pergaulan bebas dan praktik aborsi yang kian merajalela nampaknya menjadi pemantik permasalahan ini muncul. Lagi-lagi penanaman moral bagi para pemuda khususnya harus segera dibenahi. Tak mungkin ribuan bayi yang akan menjadi pilar-pilar negara justru terbuang sia-sia karena jalan buruk yang ditempuh kedua orangtua mereka
Inilah, beberapa hal yang mungkin saat ini perlu kita perhatikan. Negara kita kini belum menjadi negara harapan para pendahulu kita dan tentu tak sesuai dengan apa yang telah mereka canangkan enam puluhan tahun yang lalu. Dan ini hanya masalah sudut pandang. Saat ini, kita sedang memandang sudut negatif yang negara kita miliki saat ini. Segala sesuatu yang positif yang kita harapkan ada pada negara kita tentu wajib kita pertahankan.